PENGEMBANGAN MORAL
DAN NILAI-NILAI AGAMA ANAK USIA DINI
A.
Perkembangan Moral Anak Usia Dini
Manusia merupakan makhluk etis atau makhluk yang mampu memahami
kaidah-kaidah moral dan mampu menjadikannya sebagai pedoman dalam bertutur
kata, bersikap, dan berperilaku. Kemampuan seperti di atas bukan merupakan
kemampuan bawaan melainkan harus diperoleh melalui proses belajar. Anak dapat
mengalami perkembangan moral jika dirinya mendapatkan pengalamanan bekenaan
dengan moralitas. Perkembangan moral anak ditandai dengan kemampuan anak untuk
memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku (Slamet Suyanto, 2005: 67). Mengingat moralitas merupakan
factor penting dalam kehidupan manusia maka manusia sejak dini harus
mendapatkan pengaruh yang positif untuk menstimulasi perkembangan moralnya.
B.
Konsep-konsep Pengembangan Moral Anak Usia Dini
Menurut Megawangi, dalam Siti Aisyah dkk. (2007: 8.36), anak-anak akan
tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila mereka berada di lingkungan
yang berkarakter pula. Usaha mengembangkan anak-anak agar menjadi
pribadi-pribadi yang bermoral atau berkarakter baik merupakan tangguang jawab
keluarga, sekolah, dan seluruh komponen masyarakat. Usaha tersebut harus
dilakukan secara terencana, terfokus, dan komprehensif. Pengembangan moral anak usia dini melalui
pengembangan pembiasaan berperilaku dalam keluarga dan sekolah.
a. Pengembangan berperilaku yang baik dimulai dari
dalam keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan
utama bagi perkembangan anak. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama
dan paling efektif untuk melatih berbagai kebiasaan yang baik pada anak.
Menurut Thomas Lickona, sebagimana
pendapatnya dikutip oleh Siti Aisyah dkk. (2007: 8.38 – 8.41), ada 10 hal
penting yang harus diperhatikan dan dijadikan prinsip dalam mengembangkan
karakter anak dalam keluarga, yaitu sebagai berikut.
1.
Moralitas penghormatan
2.
Perkembangan moralitas kehormatan berjalan
secara bertahap
3.
Mengajarkan prinsip menghormati
4.
Mengajarkan dengan contoh
5.
Mengajarkan dengan kata-kata
6.
Mendorong anak unruk merefleksikan tindakannya
7.
Mengajarkan anak untuk mengemban tanggung jawab
8.
Mengajarkan keseimbangan antara kebebasan dan
kontrol
9.
Cintailah anak, karena cinta merupakan dasar
dari pembentukan moral
10. Menciptakan
keluarga bahagia
b.
Pengembangan kebiasaan berperilaku yang baik di
sekolah
Perkembangan moral anak tidak terlepas dari
lingkungan di luar rumah. Menurut Goleman (1997) dan Megawangi 2004) dalam Siti
Aisyah dkk. (2007: 8.41 – 8.42), bahwa lingkungan sekolah berperan dalam
pengembangan moral anak usia dini. Pendidikan moral pada lembaga pendidikan
formal dimulai ketika anak-anak mengikuti pendidikan pad ataman kanak-kanak.
Menurut Schweinhart (Siti Aisyah dkk., 2007: 8.42), pengalaman yang diperoleh
anak-anak dari taman kanak-kanak memberikan pengaruh positif pada pada
perkembangan anak selanjutnya.
Di lembaga
pendidikan formal anak usia dini, peran pendidik dalam pengembangan moral anak
sangat penting. Oleh karena itu, menurut Megawangi (Siti Aisyah, 2007: 8.45),
pendidik harus memperhatikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
1.
Memperlakukan anak didik dengan kasih sayang,
adil, dan hormat.
2.
Memberikan perhatian khusus secara individual
agar pendidik dapat mengenal secara baik anak didiknya.
3.
Menjadikan dirinya sebagai contoh atau tokoh
panutan.
4.
Membetulkan perilaku yang salah pada anak didik.
C.
Strategi dan Teknik Pengembangan Moral Anak Usia
Dini
Pengembangan moral anak usia dini dilakukan agar terbentuk perilaku
moral. Pembentukan perilaku moral pada anak, khususnya pada anak usia dini
memerlukan perhatian serta pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai
kondisi yang mempengaruhi dan menenytukan perilaku moral. Ada 3 strategi dalam
pembentukan perilaku moral pada anak usia dini, yaitu: strategi latihan dan
pembiasaan, 2. Strategi aktivitas dan bermain, dan 3. Strategi pembelajaran
(Wantah, 2005: 109).
1.
Strategi Latihan dan Pembiasaan
2.
Strategi Aktivitas Bermain
3.
Strategi Pembelajaran
D.
Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini
Menurut Zakiah Darajat (dalam Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu
keimanan yang diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan
dalam tindakan, perkataan, dan sikap.
Perkembangan nilai-nilai agama artinya perkembangan dalam kemampuan
memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi kebenaran-kebenaran yang berasal
dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan apa yang dipercayai sebagai pedoman
dalam bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku dalam berbgaia situasi.
Pemahaman anak akan nilai-nilai agama menurut Ernest Harms (dalam Lilis
Suryani dkk., 2008; 1.10 – 1.11) berlangsung melalui 3 tahap, yaitu sebagai
berikut.
1.
Tingkat Dongeng (The Fairy Tale Stage)
Tingkat ini dialami oleh anak yang berusia 3 – 6 tahun. Ciri-ciri
perilaku anak pada masa ini masih banyak dipengaruhi oleh daya fantasinya
sehingga dalam menyerap materi ajar agama anak juga masih banyak menggunakan
daya fantasinya.
2.
Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage)
Tingkat ini dialami anak usia 7 – 15 tahun. Pada masa ini anak sudah
dapat menyerap materi ajar agama berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari. Anak sudah tertarik pada apa yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga keagamaan. Segala bentuk tindak amal keagamaan mereka ikuti dan
tertarik untuk mempelajari lebih jauh.
3.
Tingkat Individu (The Individual Stage)
Tingkat individu dialami oleh anak yang berusia 15 ke atas. Konsep
keagaamaan yang individualistic ini terbagi atas tiga bagian, yaitu: a. konsep
keagamaan yang konvensional dan konservatif yang dipengaruhi oleh sebagian
kecil fantasi, b. konsep keagamaan yang murni dinyatakan dengan pandangan yang
bersifat personal, dan c. konsep keagamaan yang humanistic. Agama telah menjadi
etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Pengembangan nilai-nilai agama pada anak harus didasarkan pada karakteristik
perkembangan anak. Jika memperhatikan pendapat Ernest Harms sebagaimana
dikemukakan di atas, maka usaha pengembangan nilai-nilai agama menjadi efektif
jika dilakukan melalui cerita-cerita yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran
agama. Dengan demikian daya fantasi anak berperan dalam menyerap nilai-nilai
agama yang terdapat dalam cerita yang diterimanya.
0 komentar:
Posting Komentar